putus.

Tristia Riskawati
2 min readOct 16, 2020

Bagaimana rasanya, ketika putus sama ‘mantan’?

Huehehe. Mantan di sini kontekstual, anyway. Semisal: mantan ‘kebiasaan buruk’, mantan ‘pergaulan buruk’, atau ya memang beneran mantan pasangan yang not meant to be lagi.

Kalau putus, biasanya sudah nggak mau ya, terhubung lebih lanjut dengan si mantan. Ekspektasi dibunuh. Kebergantungan pada sang mantan dituntaskan. Kita siap menyongsong harapan-harapan lebih potensial.

Kalau putus dengan ‘pemerintah’, gimana? Can you imagine? Bukan putus pada nasib negeri. Melainkan putus kebergantungan akan harapan muluk pada orang-orang yang mengelolanya.

Sebelum bahas lebih lanjut tentang itu, saya kilas balik pada tulisan yang pernah saya temui sekitar satu dekade lalu. Tulisan itu berjudul SDM: “Selamatkan Diri Masing-masing” dan ditulis oleh dosen Jurnalistik saya, Bang Sahala Tua Saragih.

Inti dari tulisan tersebut yang saya ingat ialah: jangan terlalu berharap pada pemerintah yang acapkali mengecewakan kita. Selamatkan diri masing-masing saja! Begitu simpulannya.

Hal ini terus terang mempengaruhi cara pandang saya terhadap bagaimana saya membangun kedaulatan atas diri, dan bagaimana jadinya saya tidak lagi berharap pada belas kasih pemerintah.

Bukan berarti, saran, kritik, dan ekspresi atas ketidaksetujuan sama sekali tak berguna. Karena ada banyak hal yang hanya bisa dilakukan pemerintah, dan kita bisa jadi diberikan ruang untuk menginterupsi. Namun, adakalanya (atau seringnya?) aspirasi tak didengar.

Barangkali, ide-ide seperti makar, merusuh, menggulingkan kekuasaan tampak begitu ‘seksi’. Namun setelah kekuasaan digulingkan, pertanyaannya, siapa yang sudah siap membangun ‘tatanan’ baru? Kita? Atau, siapa?

Kemudian apa yang bisa dilakukan, setelah berdaulat pada diri, menyerahkan kebergantungan hanya padaNya?

Dimulai dari melihat potensi apa saja yang sudah Allah titipkan pada masing-masing diri. Dan menyibak maksud, Dia ingin kita menderma apa selama hidup?

Menghimpun sesiapa yang menyerahkan jiwa raganya hanya untukNya, mengabdi atas namaNya — dan membangun tonggak-tonggak peradaban madani, agar rahmatNya semakin menghujam bagi segenap semesta.

Bukankah kiranya, Hadirin?***

--

--