menikah (dan punya anak), mengorbankan jati diri?
Sebelum saya menikah, saya sering berpikir kalau saya tipe perempuan ‘yang sulit dinikahi’. Kurang wife-able.
“Emang ada yang mau sama cewek yang suka ngobrolin isu-isu sosial dan makroekonomi cem aku? Apakah perempuan itu utamanya untuk dipandang, daripada dijadiin tandem diskusi?”
Nengok sana-sini, teman-teman perempuan yang lebih cepat menikah, mostly nggak kayak saya (mostly yang saya observe ya, bukan berarti representasi keadaan sesungguhnya). Bukan tipe penantang diskusi belibet kayak saya.
Tapii, da atuh saya ingin menikah, hehe
Akhirnya saya berdoa. Minta diberikan suami yang bisa saling menghebatkan potensi satu sama lain, berlandaskan ridhaNya. Ingin suami seperti sahabat.
Saya merasa doa saya dikabulkan, bahkan pengabulannya lebih baik dari doa saya.
Sepanjang pernikahan, selain diskusi soal “Kapan cucian mau dijemur?”, “Sayang aku cantik nggak sih?”(hahaa), kami cukup intens berdiskusi soal isu-isu sosial dan politik.
Rasanya seruu. Jati diri saya seolah menemukan rumah. Bahkan, akhir-akhir ini kepikiran ide-ide kolab seru bareng suami.
Sedangkan saya belajar juga, para pribadi yang bisa menyelaraskan jati diri dan panggilan jiwanya dengan tugas sebagai orangtua, justru menginspirasi anaknya.
Apakah berarti tidak berkorban sama sekali? Tentu, ada pengorbanan, termasuk berpikir keras, diskusi alot, nangis-nangis, hingga istikharah berkali-kali — gimana potensi dan jati diri saya ini bisa di-adjust dengan peran utama saya sebagai istri dan (insyaallah) ibu.
Tapi mengorbankan keinginan dan ego dalam pernikahan bukanlah mengorbankan jati diri.
Anggaplah jati diri kita adalah bongkahan batu — dimana menikah, memilki anak, ikhtiar penyelarasan, serta tawakkal makin mengamplas batunya menjadi intan yang berkilau terang.
Your truest you to the next level. Wallahu’alam.***