Ihwal Menambah Awak Kapal

Alasan mengapa menunda atau tidak menunda program hamil :p

Tristia Riskawati
4 min readJun 13, 2020
Gambar dari sini (Csaba Khilenberg)

Bayangkan ada dua orang yang merasa cocok satu sama lain, tertarik secara emosional. Kemudian mereka memutuskan untuk menaiki sebuah kapal bersama. Mereka menjadi sepasang partner, yang mengarungi samudra yang begitu luasnya.

Mereka bukan tipikal orang yang begitu ngoyo terhadap tujuan spesifik mereka kemana, detail rute mana yang akan mereka tempuh. Berbekal keyakinan, mereka maju saja, ikuti rules mengenai menjadi tim pelayaran yang baik. Biarkan ombak dan Sang Penentu Takdir yang menentukan.

Kemana pun mereka singgah, mereka berupaya memberikan kebermanfaatan.

Kemudian sepasang partner tersebut mudah menyambut hadirnya awak-awak kapal baru, kendati mereka berdua belum tentu tahu caranya menghadapi gangguan emosi satu sama lain, kendati mereka barangkali belum memiliki perbekalan materi yang cukup, kendati mereka tak begitu merencanakan masa depan yang spesifik dan matang.

Namun, mereka bersepakat akan memberi pengasuhan dan pendidikan akan hadirnya awak-awak kapal mereka melalui apa yang mereka pelajari. Mereka bersepakat untuk beradaptasi dengan apapun dinamika samudra, berikut konflik yang mengemuka di para penghuni kapal.

Kemudian, ada sepasang partner lainnya. Mereka bersepakat untuk menaiki sebuah kapal dan menjadikannya sebagai sarana pelayaran. Namun, mereka (atau salah satu di antara mereka) begitu ‘cerewet’ mengenai: “mau kemana saja kita akan berlayar?”, dan “kebermanfaatan apa yang akan kita semai ke tempat-tempat yang akan kita rencanakan singgahi?”

Mereka cukup spesifik untuk menentukan pelayaran kapal mereka dan apa yang mereka lakukan di titik-titik tertentu. Kendati begitu mereka tidak berkeberatan jika angin merubah haluan mereka, karena mereka yakin Sang Penentu Takdir sedang mengoreksi arah yang mereka tempuh.

Selain itu, mereka juga ingin memastikan bahwa sebelum menambah awak kapal, mereka berdua sudah kompak dan tahu bagaimana menghadapi ulah dan ledakan emosi masing-masing (karena mereka akan berperan sebagai pendidik dan pengasuh awak kapal baru).

Mereka juga memastikan agar mereka sudah tahu mau kemana saja mereka berlayar, berikut peran apa saja yang dapat awak-awak kapal baru kontribusikan dalam tujuan-tujuan pelayaran bersama. Mereka memastikan sudah memiliki ilmu dan wawasan yang cukup dalam mendidik dan mengasuh awak kapal baru.

Mereka juga memastikan agar perbekalan mereka cukup untuk menjamin keberlangsungan mereka dan awak-awak kapal mereka, kendati mereka pun tetap yakin bahwa tiap orang sudah diatur rezekinya.

Sekarang yang ingin saya tanyakan, tim kapal mana yang lebih baik?

Jika saya, saya akan menjawab: dua-duanya baik, asalkan satu sama lain mengetahui benefit dan cost dari pilihan mereka, dan bertanggungjawab untuk menanggulangi risiko dari tiap pilihan.

Seperti, karena sudah diperhitungkan dan terorganisir, bisa saja kebermanfaatan positif yang dilakukan tim kapal kedua lebih terasa dan berdampak besar kepada sesama.

Hanya saja yang perlu mereka cermati adalah tekanan internal tim karena ada semacam rencana-rencana dan target yang mereka sasar — tidak sefleksibel tim-tim kapal lainnya — semisal.

Perlu ada strategi agar tensi dalam tim bisa cair, salah satunya adalah istirahat dan rekreasi berkala, memastikan kebutuhan afeksi dan emosional awak kapal terpenuhi, dan lain sebagainya.

Untuk tim kapal pertama, karena lebih luwes dan go with the flow, bisa saja keleluasaan pilihan hidup serta fleksibilitas menjadi keunggulan mereka. Namun bisa jadi solidaritas, sense of we are all on this together, dan keterpaduan satu sama lain untuk menghasilkan sesuatu yang bermakna terancam lemah.

Hal ini bisa disiasati lewat adanya forum mengobrol bersama secara rutin. Walau tidak membahas hal-hal sespesifik tim kapal kedua, namun mereka berupaya untuk mengetahui keadaan masing-masing — dan apa saja yang dapat mereka saling bantu sama lain — walaupun barangkali tidak sesolid tim kapal pertama (dan tidak apa-apa).

Tim kapal pertama, dan tim kapal kedua — adalah analogi saya dalam menggambarkan pernikahan. Menambah awak kapal adalah analogi saya dalam memiliki anak.

Sekali lagi saya tidak ada benar salah.

Sebelum menambah awak kapal — saya sendiri mengambil pilihan untuk memastikan stabilitas hubungan saya dan suami, memastikan keselarasan arah hidup yang akan kami tempuh bersama (bukan pilih jalan sendiri-sendiri dan bersama sekenanya), memastikan jika manajemen emosi saya sudah baik, serta memastikan bahwa saya sudah mencapai taraf kedisiplinan manajemen waktu tertentu.

Saya tidak akan memaparkan ukurannya sampai bagaimana agar kesemua elemen di atas sudah cukup bagi kami untuk memiliki anak.

Yang jelas, keputusan ini dihasilkan dari hasil diskusi dan observasi kami, melalui faktor-faktor observasi kami terhadap bagaimana best practices dan (sorry) worst practices dalam pengasuhan anak, termasuk juga kami memperhitungkan kelebihan dan kekurangan kami.

Saya adalah orang yang clueless dan bisa stres jika tidak mempersiapkan diri, bahwa ada sesuatu yang baru dan begitu berharga dan perlu saya perhatikan betul. Itu kekurangan saya.

Kelebihan saya adalah, saya orang yang konseptual dan tipe go big or go home.

Saya ingin gaming up pernikahan saya — yang memang awalnya bertujuan mencari ketenangan (jujur) — menjadi menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan orang luas.

Saya ingin membentuk tim super dalam keluarga kecil yang saya bangun, dan saya ingin mempersiapkannya sesolid mungkin dengan suami.

Tidak masalah jika memang pada akhirnya para awak kapal akan memilih jalan kebermanfaatan mereka sendiri, tetapi kami ingin menjadikan rumah tangga sebagai candradimuka dan penempaan awal mereka yang membentuk family value, berlandaskan apa yang kami yakini dan upgrade secara berkelanjutan. Bagaimanapun kiprah mereka ke depannya.

Wallahu’alam bish shawab.***

--

--

Tristia Riskawati
Tristia Riskawati

Written by Tristia Riskawati

Intuitive writer. Nerd wifey-momma.

No responses yet