Flow dan Maslow dalam Soul

Tristia Riskawati
4 min readJan 17, 2021
Ilustrasi: https://www.pixarpost.com/2020/03/First-Official-Soul-Trailer-Features-the-Great-Before.html

I am not a big fan of Disney’s animation. Tapi suami rekomendasiin Soul pada saya. Temen-temennya dateng ke rumah aja disuguhin nonton Soul. Cus deeh, akhirnya ku nonton juga.

Kalau lihat di IMDB, kabarnya si Soul ini langsung menempati 200 besar top rated movie. Mungkin karena banyak orang sangat related dengan jalan ceritanya.

Saya? I find some parts are quite related to me, but some parts are quite not. Awalnya saya bingung, kenapa kok saya kurang relate ya, sama Soul ini. Tapi orang lain banyak yang relate. Asumsi saya, mungkin karena kebanyakan orang lagi bingung mau ngapain, insekyur — padahal mereka hanya butuh lebih bersyukur.

Sedangkan struggling saya beda lagi. Saya nggak bingung mau ngapain. Saya punya kejaran, dan saya butuh asupan semangat gimana caranya saya disiplin dan konsisten mencapainya. Istilahnya, kalau Soul menceritakan kerja keras dan konsistensi Joe Gardner (pemeran utamanya) untuk mencapai satu dari sekian milestone dalam hidup — mungkin saya akan sangat relate.

Dan jenis pelajaran syukur yang saya butuhin, selain “mengapresiasi nikmat kecil maupun besar” adalah “gimana caranya beramal dan bertanggungjawab dengan modal nikmat-nikmat dari Gusti”. Hehe, I’ll explain this further yaa.

But anyway, ada dua konsep pengetahuan general yang saya kepikir ketika nonton Soul. Pertama adalah konsep State of Flow dari psikolog Mihály Csíkszentmihályi. Kedua adalah konsep hierarki kebutuhan dari psikolog Abraham Maslow.

Flow

Dalam salah satu adegan film Soul, Joe Gardner diajak oleh 22 (si ruh yang belum terlahir ke dunia) ke sebuah padang pasir (or sumthin) luas. Di padang pasir tersebut, terdapat jiwa-jiwa orang yang masih hidup — tetapi sedang terhanyut melakukan sesuatu. Barangkali saking menghayatinya aktivitas tersebut.

Menurut Csíkszentmihályi, hal ini dinamakan dengan fase Flow. Flow adalah: a state of complete immersion in an activity. The mental state of flow as “being completely involved in an activity for its own sake.” Lebaynya, kalau kata temen, keadaan melakukan aktivitas yang saking terlarutnya sampai lupa makan (kalau nggak ngingetin diri atau diingetin).

Is flow good or bad?

Kalau di Soul, kondisi larut ini dipandang agak negatif — karena membuat orang semakin asyik dengan dirinya sendiri dan kurang peduli dengan sekitar. Namun menurut VeryWellMind, sebenarnya kondisi flow bisa bermanfaat.

State of flow dapat meningkatkan performa seseorang dalam melakukan sesuatu secara optimal. Ya bayangin aja, ketika ada orang yang sudah larut mengaji dan meramu suara indahnya — maka aktivitasnya selain bikin ia enjoy — juga menenangkan jiwa para pendengarnya kan? Atau desainer yang lagi asyik banget bikin publikasi soal gimana bisa bantu temennya yang lagi butuh donor darah, misal. Atau suami yang merasa bahwa nyuci piring sungguh bikin ia terlarut dan relaxing, sehingga istripun merasa terbantu. Kan bisa jadi positif.

Psikolog Martin Seligman juga membahas konsep flow, atau ia menyebutnya engagement. Engagement ini merupakan salah satu ciri hidup yang berkualitas menurut Seligman, selain positive emotion, positive relationships, meaning, dan achievement/accomplishment.

Nah, masalahnya ketika kita menganggap aktivitas yang bikin kita terlarut adalah segala-galanya. Sampai lupa kewajiban yang lain.

Saya pribadi merasa sangat terbantu dengan value Islam yang saya pegang, sehingga saya diimbangi dengan kewajiban-kewajiban yang lain seperti ibadah ritual, mengutamakan suami dan keluarga, tetap berbuat baik dengan orangtua, jangan lupa tetangga — sehingga saya tidak terlalu ter-attach dengan aktivitas yang kuasa bikin saya terlarut.

Terkadang, kita suka menemukan bagaimana orang-orang nyentrik dalam sejarah — yang menghasilkan sesuatu yang besar. Tetapi nggak lihai dalam mengelola masalah personal dan relasi kekerabatan terdekat dalam kehidupannya, kan? We don’t have to say their names. But, anyway, I think Soul is right for this context, but not for the concept of Flow at all.

Maslow

Nah, sekarang sedikit membahas konsep Maslow. Kembali pada film, menurutmu, apa pencapaian signifikan Joe Gardner dalam film SOUL yang kamu rasakan? Masuk band-nya saksofonis terkenal, Dorothea Williams? Bagi saya sih bukan.

Justru, pencapaian Joe Gardner yang paling berkesan menurut saya ialah: ketika ia memutuskan untuk memberikan lencana hidupnya pada 22, dan menyampaikan kepada 22 bahwa hidup tuh nggak perlu harus nemuin tujuan yang nampak megah dan ‘keren’. Ada kepuasan dalam Joe, ketika ia mengorbankan hidupnya untuk orang lain dan memberikan wawasannya mengenai kehidupan.

See, ini tentang bagaimana seseorang mencapai kepuasan hidupnya, ketika ia dapat memberikan kebermanfaatan bagi pihak lain bukan? Sesimpel ‘pengen nge-umroh-in Mama’, ‘pengen nyekolahin anak sampai ke perguruan tinggi’, ‘pengen bikin anak-anak sekampung doyan baca’, sampai ke hal besar seperti ‘pengen ngebenahin sistem pendidikan supaya lebih sesuai untuk beragam keunikan anak’.

Justru, pencapaian yang sifatnya ‘pribadi’ kayak berhasil masuk band beken, atau meraih peringkat pertama di Try Out SNMPTN (not me, of course, wgwg), malah nampak ‘plain’ lama-kelamaan.

Foto: https://medium.com/@elskenney/abraham-maslows-hierarchy-of-needs-cc1bc0124a24

Lewat segitiga Maslow ini, kita bisa ngerti kalau pencapaian-pencapaian yang sifatnya ‘pribadi’, itu ada di ranah ESTEEM. Sedangkan tingkatan aktualisasi di atasnya, justru ialah SELF ACTUALIZATION yang mencakup moralitas, kreativitas, penyelesaian masalah, dan lain sebagainya — yang kalau dipikir-pikir nggak perlu yang ‘megah-megah amat’.

Mungkin film SOUL menyimpulkan, kalau kita bisa hidup bahagia kok, dengan menyenangi dan memaknai hal-hal kecil yang menarik dalam kehidupan kita.

Kalau saya, punya simpulan lain. It’s very okay ketika kamu punya mimpi besar, ataupun sebaliknya, it’s very okay also ketika kamu nggak kepikiran punya mimpi dan tujuan hidup di dunia mau kayak gimana. Justru yang terpenting adalah, gimana caranya supaya kita tetap bisa bermanfaat (beramal shalih) di setiap fase kehidupan kita, melalui nikmat-nikmat apapun yang Dia berikan.

Karenaa, itulah sumber kebahagiaan sejati. Yang selain diakui oleh Maslow, diteguhkan oleh ayat favorit saya sepanjang masa. Bahwa ketika kita mengimani bahwa takdir yang kita alami adalah takdir tertepat, kemudian kita mengolahnya menjadi sebuah kebajikan.

“Orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka mendapat kebahagiaan dan tempat kembali yang baik.” -Ar-Rad:29

Wallahu’alam bish shawab.***

--

--