di-ghosting manusia? ya sudah lah, ya.
Ujung-ujungnya, baik di-ghosting atau tidak —ekstremnya, kita akan meninggal.
Salah satu apes yang bikin takut, kayaknya salah satunya ialah di-ghosting, deh.
Kalau dalam lingkungan akademik, semisal, yang paling menakutkan adalah di-ghosting dosen pembimbing. Atau semisal narasumber kunci. Dll. Setidaknya itu yang biasa kudengar dari rekan sesama mahasiswa, mulai dari S1 hingga S3 sekalipun.
Kebayang, sih. Ghosting membuat beberapa kejaran hidup menjadi sedemikian tidak pasti.
Gimana nggak? Wong kita menunggu faktor eksternal berwujud si calon suami/istri yang nggak kunjung kasih kepastian kapan nikah, sang dosbing yang tak kunjung membalas WA selama dua minggu (sudah tiga kali di-remind tapi hanya dianggap angin semeriwing kaga penting), atau calon investor yang katanya mau ngobrolin peluang pendanaan early seed buat startup lo, tapi lo di-PHP-in nggak dihubungi lagi. Begitu sih kira-kira varian ghosting dari beragam konteks, hihi.
Nah. Salah satu saripati berharga dari entrepreneurial journey-ku, adalah terbiasa buat ‘mengambil kendali’. Aku belajar mindset, “Lo nggak bisa mengatur faktor-faktor eksternal di sekitar lo. Ya lakuin apa yang lo bisa lakuin dong, tanpa tergantung sama faktor eksternal itu.”
Easy said, tapi gimana realisasinya, gitu kali ya pertanyaannya.
Hmm. Contoh deh, yang paling dekat dengan kehidupanku saat ini: misal (misal, ya) dicueki dosbing, atau terlihat nggak memfokuskan bimbingan-bimbingannya.
Kendati selama ini dosbing-dosbingku baik hati dan relatif aman (masih bisa dihubungi dan dijangkau) — aku jadi terpikir mitigation plan kalau semisal mereka di mode nggak sama sekali merespon, atau simply I am not their priority lah ya.
Pertama, secara berkala, namun berjeda beberapa hari, menghubungi mereka via teks.
Kedua, kalau nggak dibalas, samperin ke ruangan mereka di waktu-waktu yang sekiranya mereka nggak mengajar. (“Cilukbakekok, it’s me, Bapak/Bu~” Wgwgw)
Ketiga, kalau sulit minta TU menghubungi mereka agar mereka bisa menghubungi mereka.
Keempat, minta ganti dosbing yang lebih mudah diajak korespondensi.
Kelima, kalau susaaaah, ya bangkarin S3-nya. Berarti nggak jodoh kali ya sama studi doktoral. Hahaa. Ekstrem, coy.
Sejujurnya, perihal ‘ekstremisme’ tadi, aku terinspirasi dengan tulisan Kang Gibran Huzaifah Amsi El Farizy, CEO eFishery. Judulnya “Obat Takut Gagal: No Legacy”. Beliau mengutip percakapan dengan seniornya, kira-kira begini:
“Lah, emang kenapa kalau rugi lagi? Resikonya apa?“, Kata dia.
“Ya nambah utangnya”
“Terus, kalo utangnya nambah?”
“Ya jadi nggak ada uang buat sendiri, jadi ada kewajiban bayar”
“Terus kalo nggak ada uang buat sendiri? Paling gak bisa makan kan. Kalo nggak bisa makan? Paling laper. Kalo laper terus-terusan? Ya palingan mati”, kata dia.
“Nah, semua orang ujungnya pasti mati juga kan? Jadi loe mau nyoba, terus gagal, ujungnya bakal mati. Kalo loe nyoba, terus berhasil, ya mati juga. Kalo loe nggak pernah nyoba, terus nggak pernah gagal atau berhasil, ya sama, mati juga. Jadi, semua pasti bakalan mati. Yang penting, pas hidup, loe mau milih yang mana?”
See? Brutal abis ya pandangannya. Nyambungnya ke ingat prinsip kalau semua orang ujungnya pasti mati. Ekstremnya begitu.
Kalau semisal bangkar S3, nggak diterima cinta, dicuekin investor sampai bikin kita mati (ini agak lebay sih) — atau sebaliknya — kalau kita lulus cumlaude, nikah sama orang yang disukai, sama berhasil merintis startup hingga masuk kategori unicorn — kita juga akan meninggal ujung-ujungnya, ya.
Bukan berarti jadinya ikhtiar buat meraih yang terbaik jadi asal-asalan ya, apalagi membenarkan bunuh diri. Namun, aku jadi belajar, belajar, belajar lagi untuk fokus pada ikhtiar terbaik. Apakah kondisi akan sesuai dengan keinginan atau tidak — itu masalah hasil.
Dan hasil itu domainnya siapa? Allah.
Jadi key takeaway-nya — jangan biarkan ghosting-nya pihak lain bikin lo rudet. Galau sejenak boleh banget. Namun selepasnya, segera susun strategi dan ikhtiarkan yang terbaik untuk memperbaiki keadaan. Kalaupun apes-apes-apes pakai banget (ekstremnya sampai wafat) — ya ujung-ujungnya kita semua akan meninggalkan alam dunia — berhasil atau apesnya kita.
Note to myself banget deh, pokoknya. Wallahu’alam.***