Branding Dulu, Kapasitas Dulu, Atau Dua-Duanya Dijabanin?
Karena branding tanpa kapasitas, seperti kapasitas tanpa branding — lho?! Hehe. Maksudnya, keduanya lebih baik ada.
Sekitar dua minggu yang lalu, Temali, mengadakan diskusi soal pencitraan dan hubungannya dengan kapasitas diri. Latar belakangnya, menyoal gimana sebuah akun financial advisor menjalankan peran yang nggak terlegalisasi. Belum lagi klien-klien yang merasa dirugikan, angkat suara.
Selain fenomena tersebut, ada beberapa kejadian mirip yang makin bikin orang mempertanyakan branding seseorang. Contohnya aja, pencitraan pada saat Pemilu, bikin orang condong memilih berdasarkan citra yang mewakilinya, tanpa ngerti-ngerti amat kapasitas orang yang dipilihnya dalam kebijakan publik. Dlsb dlsb.
Nah, akhirnya, saya kepikir buat mengangkat tema ini di diskusi Temali. Temali mengajak People and Culture Enthusiast, Roro Mirna dan temen lama saya Kandidat Doktor Matematika ITB Aditya ‘Finiarel Phoenix’ (nama aslinya Aditya Firman Ihsan, ding :p) sebagai pemantik diskusi.
Menurutku, pemaparan mereka agak berbeda. Pilihan hidup mereka terkait branding — juga cukup berbeda. Emang sengaja, wgwg. Supaya lebih bisa kaya aja, sih, perspektifnya. Dan partisipan bisa milih way of life yang sesuai dengan jati dirinya.
Mbak Mirna’s Way
Mbak Mirna ini memang kelihatan banget berenergi dalam memaparkan bahasannya dalam diskusi. Emang antusias betul dengan apa-apa yang sekarang lagi doi jalani.
Mbak Mirna sendiri kerja sebagai People and Culture person di sebuah startup finansial. Selain itu, doi jadi freelance HR Consultant juga. Mbak Mirna juga buka google form supaya orang-orang bisa konsultasi mengenai karir kepadanya.
Apa yang saya dapatkan dari Mbak Mirna yakni:
1 — Cara untuk nentuin imej mana yang mau kita tampilkan secara konsisten
Tentunya, pilihan imej ini juga harus didasari dari kapasitas kita. Nah, untuk tau kita sebenarnya bagus dimana, ada cara yang Mbak Mirna sarankan. Di antaranya:
☑️ Mana sih dari semua potensi/skill yang kita miliki, tapi kita paling enjoy melakukan itu semua
☑️ Mana sih dari semua pekerjaan/task/skill yang pernah kita lakukan paling banyak dapat pujian atau feedback positif dari orang lain
☑️ Mana sih dari semua pekerjaan/task/skill yang pernah kita lakukan, kalau kita ukur success ratenya- itu paling tinggi dan berhasil
Kemudian step selanjutnya adalaa~:
2 — Trik menguatkan brand/imej kita
Bagi Mbak Mirna, tipsnya adalah punya unsur diferensiasi yang tematis dan konsisten. Mbak Mirna sendiri pun masih baru menjajaki dunia ini, jadi banyak belajar juga ke orang yang lebih duluan start. Menurut mereka kuncinya adalah, punya unsur diferensiasi dan konsisten.
Mbak Mirna mencontohkan, untuk tema dirinya selalu bahas HR dan dunia kerja secara ringan dan praktikal untuk orang awam (yang belum masuk dunia kerja atau yang sudah masuk tapi masih baru).
Kemudian harus dilakukan tidak hanya sekali. Ibaratnya, kalau cuma sekali-sekali sharing pasti nggak akan dicap paham HR. “Sama halnya kalau menang lomba cuma sekali ya nggak kan dianggap jago,” begitu istilah Mbak Mirna.
“Jadi lakukan jangan cuma sekali, lakukan berkali-kali karena kelak akan menempel ‘capnya’ di teman-teman. Tujuan personal branding kan supaya kena dan dikenang.”
Adit’s Way
Kalau bahasan Adit, lebih filosofis dari bahasan Mbak Mirna yang sifatnya lebih praktikal.
Adit lebih menekankan pada kemantapan pembentukan kapasitas (bahasa dia ‘kepakaran’) kita, ketimbang langsung loncat pada ‘branding’ (kalau bahasa dia ‘referens’). Bahasan awalnya ialah apa yang dinamakan otoritas.
Kalau saya lihat, di KBBI, otoritas adalah:
1. n kekuasaan yang sah yang diberikan kepada lembaga dalam masyarakat yang memungkinkan para pejabatnya menjalankan fungsinya
2. n hak untuk bertindak
3. n kekuasaan; wewenang
4. n hak melakukan tindakan atau hak membuat peraturan untuk memerintah orang lain
5. n badan resmi yang ditetapkan oleh pemerintah untuk mengelola bidang kegiatan tertentu
Adit memaparkan, idealnya ilmu itu dijaga oleh otoritas, entah itu ulama, guru, ilmuan, lembaga-lembaga ilmiah, dan lain sebagainya. Fungsi otoritas adalah menjaga “kemurnian ilmu”, dalam artian, tidak sembarang orang bisa membuat klaim apapun tentang pengetahuan.
“Seorang dosen fisika berbicara mengenai fisika, dengan seseorang yang random entah dari mana brbicara fisika, tentu yang lebih “berhak” adalah sang dosen fisika,” ujar Adit.
Lanjut Adit berpapar, secara umum, ada 3 tahap bagaimana seseorang bisa menjadi intelektual publik (intelektual yang didengar dan bertanggung jawab pada publik), yakni:
1-Tahap pembangunan kepakaran
Tahap ini adalah ketika seseorang fokus berbicara hanya apa yang ia ketahui. Ia membangun kepakaran dengan menajamkan satu atau dua pisau yang ia punya. Misal ia bikin tulisan, berbicara di publik, berkomentar, dan sebagainya — dan semua hanya di satu kepakaran.
Ketika tahap ini dilalui dengan konsisten, maka ia akan masuk tahap referens, ketika publik mulai melihat dia sebagai “referensi”.
2-Tahap referens
Dalam tahap referens, ketika masyarakat ingin bertanya tentang politik misalnya, maka nama orang yang sudah membangun kepakarannya secara konsisten dalam bidang politik — akan langsung muncul sebagai opsi.
Biasanya ketika penyelenggara suatu seminar ingin menentukan pembicara, pasti yang muncul di pikiran penyelenggara adalah orang-orang yang sudah masuk tahap referens. Mereka yang sudah konsisten membangun kepakaran di tahap awal sehingga mendapat kepercayaan publik.
3-Tahap simbolik
Tahap terakhir, itu tahap simbolik, tahap ketika seseorang sudah jadi “simbol”, tokoh yang dipegang masyarakat. Contohnya Albert Einstein. Einstein acapkali berbicara tntang pendidikan, tentang Tuhan, dll — dan orang-orang menganggap pepatah-pepatahnya tentang apapun bagus.
“Padahal, kepakarannya Einstein kan fisika? Nah itu karena Einstein sudah masuk tahap simbolik,” simpul Adit.
Bagaimana pengaruh internet terhadap kepakaran
Namun, menurut Adit, alur 3 tahap di atas agak sedikit mengalami anomali dengan berkembangnya internet dan media sosial. Hal ini karena dulu, tahap paling awal, tahap pertama, tahap mebangun kepakaran, itu hanya bisa dilalui dengan jalur “susah payah”.
“Jalur ‘susah payah’ ini ya jalur akademik, jalur karir, jalur pengalaman,” papar Adit.
Tetapi sekarang, dengan adanya internet, jalur ‘susah payah’ ini bukan satu-satunya jalur. Karena ada banyak jalur ‘santai’ lain, dimana asal google, asal sering nonton youtube, asal sering ikut seminar, sudah merasa bisa ngomong sesuatu. Begitu menurut Adit.
Sekadar tambahan pendapat dari saya, sebenarnya kalau orang tersebut disclaimer menyatakan diri sebagai enthusiast (peminat) seperti ‘Finance Enthusiast’, atau ‘Human Resources Enthusiast’ — sih nggak apa-apa. Sembari rutin men-sounding “saya di sini bukan berbicara atas dasar kepakaran.”
Karena untuk ngobrolin finansial, mental health, human resources, dan bidang-bidang lainnya secara kepakaran — tentu lebih kuat dan terjamin standarnya yang memang tersertifikasi.
Adit sendiri, belum tertarik untuk mem-branding dirinya secara khusus. Ia ingin fokus membangun kepakarannya dalam bidang matematika dan literasi. Alasan Adit:
“Bayangin bumi misal, kalau kita sibuk pindah galian, progres kita dikit. Padahal kalau fokus di satu galian sampe bener-bener dalam, begitu nyampe tengah, semua akan terlihat lebih jelas.”
Insightful!
My Way (Hazek!)
Nah, kalau Tristi, pilih yang mana?
Kalau di fase saya sekarang, sejujurnya saya lagi nggak mau menyusun strategi personal branding seperti Mbak Mirna. Instead, saya lebih milih kayak Adit — memperkuat dulu kepakaran yang mau saya runcingkan. Supaya ketika di-branding-kan pun, makin bunyi, bermanfaat, dan barakah.
Kini saya lagi tertantang untuk memilih kepakaran mana yang mau saya fokuskan. Kalau dipikir-pikir kawan-kawan biasa meminta saya untuk bicara soal:
- Kepenulisan
- Menyelaraskan diri dengan pasangan :D
- Menemukan potensi diri
- Berpikir kritis (Ini yang paling jarang dimina ngobrol, padahal saya sangat suka topik ini dan kerapkali jadi tema tulisan saya).
Saya memang punya minat di isu mikro seperti mental health, sexual health, potensi diri, dan lain sebagainya — tetapi saya juga punya minat di isu makro seperti ekonomi negeri, kultur dan kehidupan sosial, serta pembangunan keberlanjutan.
Menjadi tantangan bagi saya untuk mengombinasikan minat saya untuk menjadi runcing pada satu kepakaran yang multidimensyonel #newwn.
Nah, justru saya akan memakai cara Mbak Mirna — ketika hilal kepakaran saya sudah mulai jelas arahnya mau kemana. Seperti itu tadi, cari tema tertentu dan cari pula diferensiasinya dengan pakar lain.
Saya tidak menegasikan keduanya. Karena branding bombastis tanpa kapasitas tentu akan ‘menipu’ pihak-pihak yang terbuai.
Dan kapasitas/kepakaran tanpa branding — kebermanfaatannya akan lebih kecil (bukan berati tidak ada) dibanding yang memang berhasil mengawinkan kemumpunian kepakarannya dengan branding yang kuat.
Huehe.
—
Nah, kalau kamu gimana, lebih milih bangun branding dan kepakaran secara bersamaan kayak Mbak Mirna? Atau lagi fokus meruncingkan kapasitas kepakaran dan belum mikirin branding kayak Adit dan saya?***