an honest post: nggak pede bermimpi besar.
Punya pemikiran dan idealisme personal yang berani beda, tapi nggak nyaman jika terlalu beda dengan orang lain. #dasaraku
Bukan, maksudnya bukan idealisme besar macam komunisme, sosialisme, kanan tengah, kiri ekstrem, Islam dan yang seperti itu. Idealisme besar dalam hidup saya, tiada lain ialah Islam.
Tapi, tentu secara personal kita memiliki cara masing-masing dalam menjalani hidup — sesimpel berapa kali makan mie instan dalam sebulan? Apakah pakaian keluargamu dicuci sendiri atau dikelaundrykan (haha, bahasa apa ini)? Atau hal yang agak advanced: Apa kejaranmu lima tahun ke depan/kamu tipe orang yang memilih untuk dialirkanNya dan berbuat maksimal di tiap apa yang Ia timpakan kepadamu?
Saya punya idealisme/cara hidup personal yang kira-kira seperti ini: dengan apa-apa yang sudah Allah kasih banyak kepadamu, maka saya ingin menggapai cita-cita. Saya menyusun kejaran saya ke mana. Saya ikhtiar mengarahkan hidup saya pada kejaran yang hendak saya raih. Kejaran di sini bukan mobil, rumah, dlsb, melainkan kontribusi besar apa yang ingin saya raih. Kejaran kontribusi inilah yang saya harapkan menjadi kendaraan saya menuju akhirat kelak.
Namun, adakalanya, bahkan sering — saya nggak pede punya cita-cita.
Karena justru kawan-kawan dekat saya ialah mereka yang sedang struggling dengan keseharian mereka — yang belum punya cukup energi untuk meraih kejaran besar, atau memang tidak memilih bermimpi besar. Saya merasa aneh (lagi-lagi).
Saya tipikal orang yang ikhtiar menyusun masa depan terbaik, agar dapat memberikan dampak signifikan kepada sesama. Jikalau dibelokkan Allah, nggak mengapa, setidaknya sudah saya ikhtiar merancang dan menempuh masa depan dan semoga dihitung pahala. Kalau yang lain lebih kepada, bukan tipe yang menentukan hidup jauh ke depan mau seperti apa, biarkan Allah mengalirkan kehidupan saya, dan saya akan mengolahnya. Tidak ada yang lebih baik.
Dengan segala kesempatan, rezeki, wawasan, serta support system yang Allah berikan pada saya, saya punya cita-cita besar terkait konsep keluarga idaman yang ingin saya rintis bersama suami. Tapi nggak berani share atau cerita. Saya takut dianggap ‘menyeramkan’, takut dianggap ‘sok sok an’, takut ‘berjarak’. Dan sekaligus merasa sendiri. Disconnected.
Di saat saya melihat kawan perempuan saya semisal struggling menjadi ibu baru misalkan, atau kawan laki-laki saya struggling mencari nafkah untuk keluarga kecilnya — saya nggak tega sharing tentang kejaran-kejaran saya. Takut dipandang “ya lu sih enak bisa mimpi ini itu tanpa dibebani tuntutan-tuntutan hidup kayak gue sekarang”, atau “gue nggak nyaman denger mimpi-mimpi ambisius lo, sementara gue kayak gini.”
Justru itu, semakin dimudahkan oleh Allah — semakin ngerasa: bebannya lebih besar untuk merancang suatu skema kehidupan yang tampak ‘lebih’ dibanding yang lain.
Akhirnya ada di satu titik saya menangis sehabis shalat, menyadari bahwa kebergantungan saya selama ini kepada orang lain. Bahwa saya diingatkan kembali, Allah lah yang paling mengerti mengenai bagaimana seharusnya saya. Bahwa tidak perlu risau dengan ada atau tiadanya yang mengerti apa yang saya sedang tempuh.
Kemudian saya peluk suami. Nangis. Yang paling saya takutkan adalah suami tidak pernah mengerti apa yang saya ingin kejar, terutama dalam keberjalanan keluarga. Selama dua tahun saya bernegosiasi tentang bagaimana keluarga kami akan berjalan dan apa yang akan dikejar (ini salah satu faktor yang menyebabkan saya enggan punya anak dulu, anyway: kebelumjelasan konsep berkeluarga).
Suami pada awalnya bingung (bukan tipe yang ambisius seperti saya :P). Pada hari dimana saya meledak, saya jelaskan urgensi dan segala macamnya mengenai apa yang saya ingin tempuh. Saya coba sederhanakan step by step seperti apa mengenai cita-cita berkeluarga yang ingin saya bentuk. Apa resultan kebermanfaatan keluarga yang ingin saya rintis, yang sudah saya perhitungkan dengan potensi diri saya dan suami.
Kendati saya bilang, “Dirimu nggak perlu ngerti gimana beratnya beban untuk berbuat sesuatu lebih besar dari orang kebanyakan.” Tapi suami mulai mengamini. Kami mulai bersepakat untuk menyusun baby steps apa yang harus kami lakukan.
It’s still a long and maybe a bit lonely journey. But, alhamdulillah alaa kulli hal.
Saya tipikal orang yang percaya, bahwa tidak masalah tiap-tiap orang punya cita-cita yang nampak ‘sederhana banget’ atau ‘besar dan ambisius’ dalam hidup. Yang perlu kita cari dalam hidup, adalah cita-cita yang relevan dengan tujuan spesifik Allah menciptakan masing-masing dari kita (dan ini bisa beda-beda tiap orangnya) — baik itu terlihat ‘sederhana’ maupun ‘megah’.
Alhamdulillah, jika kita, sang hamba yang dititipkan lebih banyak kemudahan olehNya untuk bekal bermimpi lebih besar — dapat saling berbagi dan menyemangati.
Namun, jika kita belum saatnya bertemu — dan berada di tengah-tengah rekan-rekan yang sedang berjuang di kesehariannya — inilah saat yang tepat untuk menyadari, bahwa Allah sangat dekat dan mendengar.
Dan bahwa diam menyimpan bara sembari tetap berkomunikasi, bahkan mendengarkan dan membantu mereka menyelesaikan masalah-masalah sederhana dalam kehidupan — ialah bentuk kebermanfaatan yang sungguh rendah hati. Sembari menyiapkan untuk mereka — untuk masyarakat, sesuatu lebih yang berdampak, sesuatu yang lebih menghujam hati, sesuatu yang membumikan rahmatNya dalam hati tiap insan dan di tiap jengkal bumiNya.