“they don’t love you like I love you.”

Ihwal lagu ‘Maps’ dari Yeah Yeah Yeahs yang surprisingly, sedemikian therapeutic di kehidupanku.

Tristia Riskawati
Tristia Riskawati

--

Ilustrasi dari sini.

Aku bukan music enthusiast yang serius. Aku tidak tertarik pergi ke konser. Lebih baik dengar dari youtube sambil ngopi. Aku tidak tertarik mengoleksi pernak-pernik, piringan hitam, atau apapun yang fancy-fancy dari musisi/band/dan lain sebagainya.

Namun di perjalanan hidupku, biasanya terdapat musisi-musisi yang silih berganti menjadi soundtrack dari kehidupanku.

Sebut saja Maissy, Sherina, dan kawan-kawan musisi cilik yang biasa mengiringi bocah-bocah 90s. M2M, yang mengawali selera musik masa praremajaku — kendati hanya ikut-ikutan teman menyukainya. Jack Johnson, my teenage star hero dengan hawaiian folks scene-nya yang membuatku bermimpi punya keluarga sadar lingkungan yang bersahaja. Bahkan kudengar juga dangdutnya Rhoma Irama, yang menurutku musiknya keren, koreografinya aduhai tanpa harus menampilkan syurr-ness, hahaa.

Mungkin yang paling notable dan beberapa aspek dari diriku relatable adalah Joni Mitchell dan musiknya — Joni menjadi soundtrack beberapa hidupku kegalauan usia 25an-ku, mengenai genre musiknya yang beragam dari tahun ke tahun (dari classic folk, contemporary jazz, bahkan rock a la The Police) dan merefleksikan rentang jiwaku yang multidimensyenel, serta kompleksitas perempuan dan pencariannya akan cinta, jati diri, dan kebenaran (hasik).

Tentunya selain yang di atas, masih ada beberapa musisi yang aku pernah dengarkan dan cukup jadi heavy rotation (tapi mungkin akunya lupa lagi juga, wgwg).

Kali ini, mungkin yang cukup jadi heavy rotation-ku adalah Perunggu, karena lirik-liriknya yang relatable dan musiknya yang menurutku simple rock tapi ndalem gitu. Hanya saja di sela-sela mendengarkan mereka — ada lagu yang suka kudengar berulang kali dari sebuah band Amrik.

Judulnya Maps, dari Yeah Yeah Yeahs.

Sebenarnya, lagu ini konon dibuat Mbak Karen O (vokalisnya) untuk mantan pacarnya supaya tetep sama beliau.

Cuman, kok aku lain ya menangkapnya. Lirik ‘Wait, they don’t love you like I love you’ somehow resonates with me differently.

Seolah-olah kayak Allah yang bicara begitu ke aku.

Setelah mungkin ada di fase lagi kecewa sama beberapa orang (sudah dimaafkan, tapi tetap suka ada bekas-bekasnya dan kadang kambuh lagi kecewanya) — seolah diingatkan:

“Ketimbang mereka, hanya Aku yang cintanya lebih superPAS dan super-super-super lainnya, kepadamu”

.

Wajar ketika ada ekspektasiku terhadap si ini dan si itu yang ternyata tak berkembar dengan realita yang mereka tampakkan. Tapi, toh, namanya juga manusia. Punya limitasi. Punya alasan tersendiri mengapa ia tak melayani ekspektasi kita, yang bisa jadi memang itu yang terbaik.

Maafkan (jika memang menurut kita ia salah), atau maklumi (jika ekspektasi kita netral terhadapnya).

Dan ingat: they don’t love you like He loves you.

Ilustrasi dari sini.

Kalau inget-inget perjalanan hidup, di kala teman-teman yang kusayangi pamit dan menjauh — aku jadi saksi bahwa Allah sedemikian dekat dan mengarahkanku pada kesempatan-kesempatan yang lebih membuka potensi diriku.

Bahwa Allah yang PALIIING mengerti aku, dan kasih sayangnya super besar terhadap aku Sang Pendosa ini.

Semoga selalu kembali, dan selalu dalam naungan cintaNya secara tepat hingga bermuara pada ridhaNya kelak.***

--

--