romantisme persaudaraan di tanah palestin.*

mungkin, kian peliknya situasi mengeratkan peluk hangat persaudaraan.

Tristia Riskawati
Tristia Riskawati

--

Ilustrasi dari sini.

*Tulisan ini pernah ditulis pada 2017 yang lalu di tumblr. Aku re-make lagi.

Dipicu serangan Israel yang bertubi-tubi, kini orang cukup bicara banyak soal Palestina.

Aku malah teringat video youtube Ustadz Salim A. Fillah yang pernah kudengar. Soal keramahtamahan muslimin Gaza, Palestin, yang tiada duanya!

Ustadz Salim cerita, aktivitas yang ia sering lakukan tatkala singgah di Gaza adalah: berpelukan dan berciuman.

Lhah?
No no, not like they do in Paris wkwk, but that brotherly hugs and kisses!

Ini wew.

“Kalau (orang Gaza) menyambut kita, ‘Assalamu’alaykum, Masyaallah, Barakallah fiikum. Ahlan wa sahlan. Jazakumullahu khairan….’ Itu sekali salaman begitu!”

Diceritakan Sang Ustadz, mantan Perdana Menteri Palestina, Ismail Haniyah paling tidak bertanya ‘apa kabar?’ (sambil senyum) 10 kali dalam sebuah perjamuan.

Kupikir semula ini cem freak. Tapi begini kata Ustadz Salim: “Supaya mengajarkan kita berzikir, dengan kita yang membalas ‘Alhamdulillah’.”

Okay.
Not freak anymore
ding, but kinda cute. :’D

Mereka sangat saling menyayangi kawan seimannya, ya.
Sampai segitunya.

Kemudian aku paparkan ini pada @eluthfiyah​ , kawan kece diskusiku. Mengapa ya, orang Palestina bisa sebegitu hangatnya?

Aku sendiri menyimpulkan, lantaran kaum muslimin di Palestina mengalami penderitaan yang pelik– maka bonding di antara mereka menjadi sangat kuat. Romantisme perjuangan makin terasa. Jelas tertera siapa kawan siapa lawan.

Sedangkan di Indonesia, segalanya serba kelabu. Oke aku Islam, si B Islam, si C Islam– tapi aku tak pernah tahu sedalam apa frekuensi kecintaannya pada Islam.

Aku beberapa kali menemukan kawan-kawan yang obrolannya sangat keseharian, eh tahu-tahu pas disentil soal Islam jadi nyambung! Ternyata ia seeker jugak. Butuh ada yang mulai ngobrol, sih.

Atau ada beberapa yang memang belum mau berbagi pandangannya soal Islam. Belum mau atau mungkin belum sempat, berbagi ruang untuk saling mengingat Allah.

Romantisme keterhubungan antar muslim Indonesia pun belum selekat ukhuwah Palestina.

Sedangkan Evi berpendapat, ada manfaat berikut harga yang harus dibayar untuk masing-masing muslim di dua negara.

Muslim Palestina mendapatkan sengat romantisme ukhuwah yang begitu kuat. Harga yang harus dibayar adalah kondisi yang serba genting.

Sedangkan muslim Indonesia mendapatkan keleluasaan dan keamanan dalam beribadah dan berdakwah. Harga yang harus dibayar adalah persaudaraan yang kurang menggigit, atau perjuangan yang kadang menyala kadang letup.

Aku bertanya, akankah muslimin Indonesia berada dalam kondisi dimana haq dan bathil begitu jelas? Sehingga terlihatlah polarisasi pribadi-pribadi yang semula tampak kelabu ini.

Perpisahan memang menyakitkan. Namun bedakan antara memilih musuh dan memilih kebenaran.

Memilih musuh, bagiku bukan tindakan bijak– walau aku membalutnya dengan bungkus kebenaran– namun sebenarnya karena jiwa rusakku yang mudah tersulut benci saja.

Namun, memlih kebenaran tak pernah lepas dari konsekuensi logisnya, yakni dimusuhi yang tak mau memilih kebenaran.

Akankah?

Hemm. Untuk saat ini, mari berdoa. Bantu Palestina sebisa yang kita mampu (bisa berdonasi, dan lain sebagainya).

Ilustrasi dari sini.

Sembari tak lupa menyemai solusi-solusi jitu bagi polemik negeri sendiri. Yattaa~

Wallahu’alam.

Ya Allah, tunjukkan kepada kami bahwa yang baik itu baik, dan anugerahi kami kekuatan untuk mengikutinya. Dan tunjukkan kepada kami bahwa yang salah itu salah, dan anugerahi kami kekuatan untuk menjauhinya. Aamiin. (Umar bin Khattab ra.)***

--

--