pernikahan yang manis itu ada, dan patut diperjuangkan.

An ode to my imperfectly-perfect-loving-marriage.

Tristia Riskawati
Tristia Riskawati

--

Ilustrasi dari sini.

Pada satu dini hari, aku tengah mencari lagu latar untuk reels pembacaanku akan puisi Jokpin.

Entah mengapa skenario ilahi menuntunku untuk memilih lagu milik Nadin Amizah. Judulnya ‘Ah’.

Aku belum pernah mendengar lagu itu sebelumnya. Kemudian setelah kuunggah reels-nya, kudengar lagi lagu itu. Kusimak lagi kemudian berulang-ulang. Kuminta ‘Ah’-nya Nadin temani aku menyiapkan sarapan serta kudapan untuk anakku sekolah.

Lalu aku mendapati hatiku terbanjiri haru. Lagumu bikin aku ingat suami, Nadin.

Aku memutar kembali sekelabat ingatan, pengalaman, lengkap dengan ragam rasa yang kularut di dalamnya. Betapa beruntungnya aku, akan pernikahanku yang sungguh manis.

Tunggu. Jika kau pikir pernikahan yang manis adalah pernikahan untung-untungan — bagai dapat jackpot, maka nampaknya tidak sesederhana itu juga.

Pernikahanku — diawali dari serangkaian istikharah yang menumpas raguku akannya. Beliau bukan pria-pria yang pernah aku sebut namanya dalam doa. Beliau bukan sosok yang kudamba dan kuimpikan bersanding dan bertualang dalam lembah bukit kehidupan.

Tapi Allah Maha Menyayangi hamba-Nya yang sok tau. Dan kejutanmu ini sungguh manis terasa kini, hingga mataku basah menuliskannya — setelah pahitnya pendewasaan pernikahan setengah dekade kami. Yang ajaibnya Ia jaga terus dalam hangatnya kasih sayang.

Pernikahan kami diliputi ujian. Namun karena pernikahan ini adalah jawaban dari hasil istikharahku — yang berarti pilihan Allah langsung — kurasakan betul keberkahan, ketenangan, keseruan, serta kemudahan tak terduga yang bersemayam di dalamnya.

Ilustrasi dari sini.

Aku semakin menyayanginya. Namun bersamaan dengan itu aku semakin menjadi sayang padaNya dan takdirNya.

Aku suka, pada takdirMu, yang melenturkan lisan kami untuk menyemai pupuk sayang dengan melisankan sayang.

Aku suka, pada takdirMu, yang melembutkan hati kami untuk rutin: saling jernih berbincang mengurai benang kusut ‘perang-perang’ konyol kami.

Aku suka, pada takdirMu, yang kuasa membuka pikiran dua insan slengean ini — hingga dapat bertukar cara pandang, kebiasaan — hingga menjadi versi lebih baik dari kami sebelumnya — baik secara individu maupun sebagai pasangan.

Bahwa selama setengah dekade, aku baru menyadari — pernikahan yang manis itu nyata dan aku merasakannya — setelah asam dan pahitnya kumaknai berulang kembali.

Bahwa pernikahan yang manis itu diperjuangkan, dan lambat laun terasa indahnya yang tak berlebihan.

Bahwa pernikahan yang manis itu — sepatutnya memperkuat iman — bukan membuat berhala tandingan dalam pengabdian kepadaNya.

Kurapal selalu doa untuk pernikahanku.

Tidak pernah berlebihan — baik yang sedang menanti pasangan, yang pernikahannya telah hangat, atau yang tengah mengalami pernikahan penuh tanya (ada fasenya aku begini, lho, dulu) — untuk meminta doa akan pernikahan yang manis, merekah, dan bahagia — jika buah darinya ditujukan untuk semakin taat, serta giat mengabdi kepadaNya.

***

--

--