outgoing introvert.

Sebuah istilah kepribadian ‘kekinian’, namun relatable.

Tristia Riskawati
Tristia Riskawati

--

“Kamu tuh emang keliatan introvert kok.”

Begitu komentar salah seorang rekanku, ketika 3–4 tahun intens mengenalku. Lucunya, pada awal-awal pertemuan kami, ia menyangka kalau aku extrovert. Hahaa, bisa ya.

Kemudian tiba-tiba muncullah frasa outgoing introvert di jagad mayaku beberapa tahun lalu. Dan aku cukup related ‘diwakili’nya.

Definisi outgoing introvert sendiri, salah satunya adalah yang di bawah ini.

An outgoing introvert is someone who has both introverted and extroverted traits and can flourish in both quiet and clamorous environments. They might seem reserved one moment and talkative the next.

Pendapatku sendiri, outgoing introvert itu aslinya INTROVERT, dapet energi dari kesendirian, tapi dia punya skill bersosialisasi yang oke (baik secara alamiah maupun dilatih).

Sebenarnya, apa yang mendefinisikan seseorang itu ‘ekstro’ atau ‘intro’, itu juga macem-macem versinya. Versi common sense yang menurutku kurang tepat: ‘orang ekstrovert’ lebih ceriwis sedangkan ‘introvert’ lebih diem.

Well yes, kayaknya di awal-awal kehidupan, aku sebagai inttovert emang lebih banyak ‘diem’ karena kecenderunganku untuk membaca situasi ketimbang langsung beraksi ‘kata’/’gerakan’.

Tapi menjelang dewasa, yang namanya skill komunikasi dan sosialisasi dipelajari, pada akhirnya, tergantung kemauan orangnya. Dan no wonder aku mengalami dan tau beberapa introvert yang punya kemampuan komunikasi lumayan, but still, being energized when having proper alone time.

Ada yang bilang, ekstroversi dan introversi itu spektrum. Jadi tiap-tiap orang punya sifat ekstrovert dan introvert juga, dengan kadar yang berbeda-beda. Misal kayak aku tiap kali tes MBTI, biasanya di rentang 55–60% introvert, 40–45% ekstrovert.

Tapi rules of thumb yang kupegang dari teman lulusan psikologi: lihat sumber energi kamu, apakah ketika sedang bersama orang-orang atau ketika sendiri?

Aku sendiri menyadari, kalau pemikiranku dan seringnya batiniahku lebih matang ketika punya waktu menyendiri yang cukup. Walaupun, bertemu dengan orang-orang bikin aku berenergi dan memang perlu juga — tapi bukan yang terus-terusan sampai aku kehilangan waktu menyendiriku.😆

Nah, ini dia lima hal yang bikin aku relate dengan outgoing introvert.

1.. Nggak nyaman ikut kelas-kelas olahraga dimana kudu ketemu dan sedikit mingle sama personil lain. Harus punya waktu untuk olahraga sendiri biar bisa sekalian merapikan pikiran. Sesekali olahraga sama temen yang udah dikenal is perfectly finee.

2. Males di awal ketika harus ke acara yang banyak orangnyaa (10 orang lebih). Kecenderungan intro: secara nggak sadar memproses stimulus dari luar — kemudian memikirkannya (kebayang ada 100 orang yang harus ditemui, lebaynya ada 100 yang scr ga sadar dianalisis). Awkward harus ngapain. Tapi aku belajar buat: yaudah, pilih satu atau dua orang aja yang aku konsisten ajak ngobrol dalam forum tsb, biar nggak bingung.

3. Mungkin aku tipikal yang engaging dan suka menghidupkan percakapan. Sebenarnya bukan secara nature suka nyablak.😆 Tapi ingin supaya individu-individu yang sedang bersamaku merasa terhargai, dan bisa saling bertukar gagasan.

4. Mungkin karena dulu pengen banget jadi supel (walau dulu maksain sih), jadinya aku nampak ekstrovert — kendati secara jiwa introvert. Kenapa pengen jadi supel? Nyambung ke no berikutnya.

5. Menjadi introvert yang punya dunia sendiri dan nggak bisa bersosialisasi itu kupikir bakal melimitasiku dalam mengalirkan kebermanfaatanku. Perlu ada bare minimum skill komunikasi (seperti public speaking), etika (seperti kalau ada masalah dihadapi, bersikap baik sama tetangga), dlsb baik buat ekstro dan intro.

__

So, feel related? Ehehe. Are you just a reserved extrovert, or an outgoing introvert?***

--

--