mencabut lebatnya opresi hingga ke akar.

Palestina akan terbebas, namun sebagai aktor — tentu kita perlu berpikir bagaimana strategi berperan untuk takdir terjanjikan tersebut

Tristia Riskawati
Tristia Riskawati

--

Disclaimer: Ini tulisan lama di tumblr. Aku tulis dua tahun yang lalu saat Ramadhan. Karena konflik Palestina-Israel kembali mencuat, maka kutulis ulang di medium.

Ilustrasi dari sini.

Di hari-hari terakhir Ramadhan, ruwet sekali pikiran saya. Mungkin saya kurang dzikir, huehe. Terlepas dari kurang dzikirnya saya, tentu saja berita mengenai bagaimana militer Israel menyerang rakyat Palestina menjadi salah satu yang bikin otak saya puyeng.

Dulu saya cukup mengikuti seluk beluk tragedi opresi di negeri tersebut, cukup tahu hubungan on-off Hamas-Fatah (keduanya memperjuangkan kemerdekaan Palestina dengan cara yang berbeda), ada pihak yang berpendapat bahwa ada blunder serangan provokatif Hamas (tentu saja ini kontroversial).

Tapi, ketika warga-warga sipil, termasuk kaum perempuan dan anak-anak telah menjadi korban — diserang secara brutal — tentu saja saya tidak habis pikir, dan sejenak mengenyampingkan konflik internal di kubu Palestina.

Dan tentu, pencaplokan wilayah secara tak adil yang menjadi awal mula konflik juga membuat saya gemas. Dari mulai bertanya geram ‘Lu kenapa sih, Zionis?’ — hingga beneran bertanya untuk mencari jawaban sampai mendekati overthinking.

Bagaimana bisa sebuah bangsa dan satuan unit aparat di dalamnya punya mental opresor? Ya, mungkin ada pendidikan ideologis yang begitu intens sedari kecil bagi kader-kader zionis. Tapi, pernahkan nurani dari masing-masing mereka terketuk jika ada yang salah dari mereka?

Saya bahkan pernah menulis beberapa tulisan yang mempertanyakan, siapa yang menjamin jika kita akhirnya akan membelot membela pihak yang benar ketika kita terlahir dari rahim seorang zionis, kemudian dididik sedemikian intens untuk menduduki Palestina dengan cara apapun?

Kemudian, apakah benar ini murni karena minyak, seperti analisis beberapa orang? Apa memang cita-cita ideologis zionis karena mendamba ‘promised land’?

Mengapa pemimpin-pemimpin dunia bungkam?

First aid seperti donasi tentu akan membantu memulihkan luka sejenak. Do’a tentu menjadi mantra penguat yang ampuh. Namun, opresi kejam ini berlangsung terus-menerus, seolah tiada henti, perlu ikhtiar aksi berlandaskan pikiran jernih pula bukan untuk mengentaskannya?

Apa akar masalahnya — dan bagaimana cara radikal nan sistemik untuk membungkam gerak zionis?

Beralih topik pada hal-hal yang lebih dekat dengan diri, saya sedang membiasakan diri untuk berpikir dari akarnya. Seperti, apa sih akar masalah dari ketidakkompakan yang tersisa antara saya dan suami?

Kalimat-kalimat bernada sayang serta tawa canda memang membantu memadamkan sejenak, bak bantuan donasi bagi para warga Palestina — tapi, konflik kami masih tetap ada hingga pada akhirnya kami membahas bersama akar ketidakkompakan kami (sampai nangis-nangisan, wgwg) dan mencari solusinya.

Atau tentang gangguan psikis adik saya. Obat-obatan dapat menjadi pertolongan yang menunjang kesembuhan. Tapi untuk memilih obat serta terapi yang tepat, dibutuhkan analisa mendalam mengenai akar penyebab permasalahan gangguan mental adik saya — dan bagaimana penanganan yang tepat.

Semoga saja, di samping derasnya solusi-solusi jangka pendek yang tentu bermanfaat, kita dikuatkan pula untuk meramu solusi-solusi jangka panjang yang menyelesaikan akar masalah hingga tuntas. Termasuk untuk permasalahan pribadi, pernasalahan nasional, hingga permasalahan global.

Semoga kita dapat mendidik diri dan generasi selanjutnya untuk membangun bangsa yang kokoh, kuat, berdiri di atas kebenaran, hingga pada akhirnya dapat memberikan pertolongan radikal serta tepat bagi bangsa-bangsa terjajah lainnya.

__

--

--