ketika aku dan kamu bertaut dalam arena kebaikan.

Punya suami — yang dapat diajak untuk kolaborasi dalam proyek kebaikan bersama — seolah sudah jadi impian alam bawah sadarku. Semenjak masa gadis.

Tristia Riskawati
Tristia Riskawati

--

Entah, apa karena beberapa gerakan parenting memiliki paham ‘ciptakan proyek bersama keluarga’. Dan bisa jadi karena dari masa kecilku — aku terpapar dengan beberapa kisah pasutri yang memang berkolaborasi dalam satu arena kebaikan.

Ilustrasi dari sini

Teringat waktu usiaku di kisaran 8–10 tahun, aku membaca novel seri tokoh dunia.

Pasutri pertama yang kukenal saling berkolaborasi dalam arena serupa adalah Marie Curie, peraih Nobel Kimia dan Fisika sekaligus — dan suaminya: Pierre Curie.

Marie Curie dan Pierre Curie (foto dari sini)

Kemudian, jelang ku mendewasa — ada beberapa pasutri lain yang menarik perhatianku. Di antaranya barangkali yang cukup dikenal ada Bu Tri Mumpuni dan Pak Iskandar dengan gerakan pemberdayaan desa dan mikrohidronya. Kemudian pentolan Beatles, Paul McCartney dan Linda McCartney dengan aktivisme mereka dalam perlindungan hewan-lingkungan.

David Suzuki dan Tara Cullis — juga salah satu pasutri enviromentalist yang menarik perhatianku. Anak mereka, Severn Cullis-Suzuki pernah menyihir perhatian publik ketika di usia 12 tahun berpidato di Earth Summit 2012 tentang isu-isu lingkungan.

Baru-baru ini, aku juga amazed dengan Gabor Mate (psikoanalis), istrinya — dan juga anak-anaknya yang kompak baik dalam bidang psikologi maupun bersuara dalam konflik Israel-Palestina.

Ada pula, Profesor Abd Al-Fattah El-Awaisi — yang bersama istrinya merintis studi mengenai Baitul Maqdis (Palestina). Dua anak mereka pun mengambil studi kuliah di bidang studi Baitul Maqdis.

Talking about Baitul Maqdis, tentu rasanya ganjil ketika tak berbicara ihwal orangtua Shalahuddin Al-Ayyubi, pembebas Baitul Maqdis di berabad-abad yang lalu. Orangtua beliau, sedari mereka belum bertemu dan menikah — sama-sama punya impian punya anak yang dapat membebaskan Baitul Maqdis. Dan hal tersebut pun jadi kenyataan.

Dan — apalagi — yang tak boleh dihiraukan adalah jalan juang Rasulullah SAW dengan Ibunda Khadijah Ra., tentu saja ❤️. Di awal pernikahan berdagang bersama, kemudian setelah masa kenabian — ibunda mengalirkan rasa cinta beserta logistik untuk mendukung risalah Rasulullah SAW.

Hal menarik yang kutemui dari ragam pasutri tersebut — hampir semua anak mereka terhubung dengan perjuangan mereka. Tidak harus serupa bidangnya, tapi saling mendukung dan terhubung. Tanpa paksaan.

Barangkali lantaran anak-anak mereka ‘tersihir’ dengan pesona perjuangan dan kekompakan orangtua mereka.

Hal inilah yang kerapkali kubagi pada suami, menjadi doaku — hingga pada akhirnya suami tergerak merintis proyek sosial pendidikan bernama Pijar Berdaya Indonesia. Di mana aku turut ikut diajaknya.

Tentu saja, bentuk kolaborasi antar pasutri dapat berbeda-beda. Pasutri dapat pula kompak berbagi peran seperti: suami jor-joran di ranah publik, istri di ranah domestik. Atau, suami dan istri beraktivitas berbeda di ranah publik. Yang penting merutinkan saling menyemangati dan terlibat dalam pengasuhan anak.

Atau ya seperti pasutri-pasutri yang kusebut tadi — bersinergi di ranah publik dan bahkan mengajak anak-anak mereka. Membuat seisi semesta adalah ‘rumah pembelajaran’.

Semuanya sama-sama oke nggak, sih? Biarkan Allah yang membimbing ‘gaya kolaborasi’ manakah yang sekiranya cocok untuk masing-masing pasutri✨

Aku sendiri punya porsi kiprah publik yang berbeda dengan suamiku. 45% aktivitas publik yang ku mandiri menjalaninya, 55% sisamya kulakoni dengan suamiku. Barangkali, ini porsi yang paling selaras dengan kebutuhan dan kepribadian masing-masing dari kami.

Semoga Allah kompakkan dan istiqamahkan kami sekeluarga dalam jalan juangNya. Semoga sampailah kami dalam ridhaNya hingga sesurga dengan hati yang selamat.

--

--