Photo by Jr Korpa on Unsplash

gagalkah society mengajarkan kita tentang emosi?

Alasanku mengapa individu perlu tetap merasakan, memikirkan, dan mengolah emosi. Bukan menahan atau sebaliknya, melampiaskannya.

--

“My clients tend to avoid painful or conflicting emotions in their lives — just as most of us do, because that’s what we were taught. But to heal the mind, we need to experience the emotions that go with our stories, and those are located in the body.” Hilary Jacobs Hendel, psychotherapist

Pada awalnya hidup seolah tidak berpihak padaku — sebagai pribadi yang ‘penuh emosi dan rasa’.

Masih ingat ketika curhat pada ibuku tentang betapa sulit aku betah terhadap lingkungan sekolahku semasa SMA— ibuku mementahkan segala aliran emosiku (p.s.: ibuku sudah berubah dan lebih empatif, terlebih ketika merawat adikku yang berkebutuhan khusus).

Dari situ — aku berpikir bahwa ‘terlalu emosional’ akan menyulitkan diriku sendiri.

Mungkin karena berbelas tahun yang lalu belum banyak informasi mengenai kesehatan mental, aku belajar untuk membebalkan unsur rasa. Bahkan, aku sedikit maskulin/tomboy dan merawat spirit ‘bodoamat’ di fase-fase remaja lanjut hidupku.

Adalah islamic lecture dari Ustadz Nouman Ali Khan lah yang merubah sudut pandangku mengenai perasaan.

Salah satu bahasan dari lecture ini adalah kisah Maryam ra. Bahwa Maryam ra. — yang dikenal ‘supershalihah’ saja pernah terbersit ingin bunuh diri pada awalnya. Bagaimana tidak, sebagai seorang gadis suci —beliau tiba-tiba hamil! Apa kata duniyeaahh~Kemudian Malaikat Jibril dan Allah — alih-alih ‘memarahi’ — malah memberikan solusi praktis untuk memudahkan perjuangan Maryam.

Kutonton ini di sekitar 2015 atau 2016. Kala itu, aku yang sekian lama ‘membebalkan’ perasaanku sedang dilanda badai emosi yang lebih intens dibandingkan sebelumnya.

Lewat ‘badai’ tersebut — justru aku melaluinya dengan sehat melalui lecture, percakapan, serta insight yang mendorongku agar lebih terkoneksi dengan perasaan, emosi, serta gejolak batin yang kualami.

Aku belajar untuk mengidentifikasi perasaan bersamaNya, menganalisa, kemudian mengalirkan ‘energi’ dari perasaan tersebut dengan lebih positif.

https://id.pinterest.com/pin/3588874696003184/

Dan, rupanya beberapa temuan menunjukkan bahwa mem-blok perasaan berakibat buruk, bahkan bagi fisik manusia. Psikioterapis Hilary Jacobs Hendel, dalam TIME.com menulis mem-blok emosi nggak hanya berpengaruh terhadap kesehatan mental, tetapi juga kesehatan fisik — seperti penyakit jantung, pencernaan, sakit kepala, insomnia — dan penyakit autoimun.

Hal ini senada dengan pemaparan Dr. Gabor Mate seorang psikoterapis yang beberapa insight-nya sedang kuikuti (p.s.: beliau seorang yahudi mantan zionis yang membela Palestina bersama keluarganya, lho! ❤).

Beliau berkata, society mengajarkan kita untuk ‘mematikan’ rasa — kurang mengajari kita untuk menganalisa dan mengekspresikannya secara tepat. Sehingga muncullah beberapa penyakit fisik akibat akumulasi emosi yang tak teralirkan secara tepat— dan salah satu penyakitnya adalah autoimun.

Langkah pengelolaan emosi berbasis Alquran

Kembali lagi pada ayat-ayat Alquran — aku menemukan bahwa Nabi Musa a.s. mengajariku secara sehat untuk mengelola emosiku. Alih-alih memendam, atau sebaliknya — melampiaskan emosi begitu saja secara tidak sehat — beliau mengidentifikasi perasaannya dan mengutarakannya pada Allah.

Simak rentetan ayat yang luar biasa mindblowing berikut ini.

Berkata Musa: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku takut bahwa mereka akan mendustakan aku. Dan (karenanya) sempitlah dadaku dan tidak lancar lidahku maka utuslah Harun bersamaku.” QS. Asy-Syu’ara:12–13

Di ayat ini, Nabi Musa as. — sebagai modelan Nabi ala ‘preman’ aja mau mengakui kalau sesungguhnya beliau ‘TAKUT’ (1 — identifikasi emosi).

Kemudian — dalam ayat ini beliau mengutarakan pula potensi penyebab rasa takut itu: ‘..bahwa mereka (Fir’aun dan pengukutnya) akan mendustakan aku’ (2-identifikasi akar masalah menapa emosi itu muncul).

Selanjutnya, Nabi Musa as. juga mengajarkan kepadaku untuk memikirkan solusi apa yang dapat meredakan rasa takutnya: ‘.. maka utuslah Harun bersamaku..” (3-problem solving emosi).

Surat Maryam ayat 23–27 — juga mengajarkan kepadaku bagaimana mengelola emosi/mendampingi orang mengelola emosinya secara sehat.

Kemudian rasa sakit akan melahirkan memaksanya (bersandar) pada pangkal pohon kurma, dia (Maryam) berkata, “Wahai, betapa (baiknya) aku mati sebelum ini, dan aku menjadi seorang yang tidak diperhatikan dan dilupakan.”

Maka dia (Jibril) berseru kepadanya dari tempat yang rendah, “Janganlah engkau bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu.

Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya (pohon) itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.

Maka makan, minum dan bersenanghatilah engkau. Jika engkau melihat seseorang, maka katakanlah, “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pengasih, maka aku tidak akan berbicara dengan siapa pun pada hari ini.”

Dari rentetan ayat ini, aku belajar untuk tidak cepat-cepat mengatakan: “orang beriman nggak mungkin punya pikiran kayak gitu!”, “kamu kurang bersyukur!” dan lain sebagainya. Pribadi se-superrduperr-shalihah Maryam ra. aja bisa sekalut itu hingga ingin mengakhiri hidupnya.

https://id.pinterest.com/pin/164522192634454353/

Maka Malaikat Jibril ‘berseru kepadanya dari tempat yang rendah’ kemudian memberikan solusi-solusi praktikal yang Maryam dapat lakukan. Bahkan dalam ayat ke-27 disuruh makan, minum, dan bersenanghatilah — kalau diterjemahan lain — wa qorri aina itu artinya ‘rileks dululah kamu’. Healing dulu sedikit, baru habis itu berjuang lagi.

Ustadh Omar Sulaiman, dalam lecture-nya juga mengungkapkan para Nabi — yang notabene-nya lebih sensitif dibanding manusia pada umumnya pun punya mekanisme pengelolaan emosi yang dapat kita contoh. Keluhkan dan alirkan semua kepada Allah — maka tercipta koneksi denganNya yang justru menciptakan kekuatan bagi diri ini.

Emosi adalah energi, jangan diblok — jangan dilampiaskan — but use it wisely

Satu yang juga kupelajari — emosi adalah sumber energi, bahkan amarah atau emosi ‘negatif’ lainpun bisa jadi energi positif jika manusia pandai mengelolanya.

Di tahun 2016 hingga 2018, ketika sedang di puncak emosi — aku rasakan betul emosi yang begitu besar — dan justru menjadi energi ‘baru’ bagi tulisan-tulisanku pada saat itu.

Ada seorang pendaki senior, Kang Djukardi ‘Bongkeng’ Adriana yang beralih dari pergaulan bebas nggak keruan ke kegiatan alam bebas (mendaki gunung) sebagai sarana pengalihan emosinya yang lebih sehat.

Ada pula kisah seorang klien certified coach yang sudah menikah — mau berpisah karena sedang dilanda ‘badai kasmaran’ luar biasa kepada teman se-SMP-nya — namun pada akhirnya klien tersebut mengalihkan ‘energi cinta’-nya itu untuk membuka line bisnis baru. Rumahtangganya pun selamat.

Penutup

Aku mengamini emosi itu pertanda. Emosi itu netral.

Yang bikin emosi/perasaan itu jadi destruktif adalah cara individu tersebut menyimpulkan dan mengalirkan emosinya.

Generasi muda (termasuk mungkin aku karena aku late millennials) barangkali terlalu ingin perasaannya dilayani, padahal belum terlalu menganalisanya secara jernih.

Generasi lebih tua, barangkali ingin agar orang lebih ‘cuek’ pada emosinya. Lebih represif. Tapi pada akhirnya bisa meledak dengan output yang beragam (penyakit, ledakan emosi, dlsb).

Termasuk kaum perempuan dan laki-laki. Katanya, perempuan dinilai terlalu berlebihan dalam menanggapi emosinya. Laki-laki dinilai tidak menghargai perasaan dan suka menekannya (pernah denger kalau kasus bunuh diri lebih banyak dilakukan pria karena sekian lama merepresi emosinya).

https://id.pinterest.com/pin/480126010281751904/

Walaupun aku yakin, sebenarnya PASTI ada orang-orang ‘pengecualian’ dari tiap generasi/gender — yang mampu mengenali, mengelola, dan mensolusikan emosinya secara bijak.

Jadi, apakah society gagal mengajarkan kita soal emosi? GAGAL is such too strong word. I prefer: society might hasn’t been perfect to teach us about emotion. But we are learning entities trying to fixing our paradigms and ways of life all the time into something greater.

Karena aku menuliskan ini di bulan Ramadhan, maka aku berharap — semoga di bulan Ramadhan ini seribu satu macam emosi yang dirasakan oleh diri dapat terurai secara sehat, teralirkan secara indah, hingga justru menjadi berkah baik bagi diri maupun sesama. Aamiin.

Beberapa video/sumber rekomendasi untuk belajar mengolah rasa secara sehat:

--

--